SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG DI BLOG SEDERHANA SAYA...


Mudah-mudahan dapat bermanfaat....

Kamis, 25 November 2010

Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan IPA : Continuous Improvement dalam kelas IPA


A.      Pendahuluan
          Mutu pendidikan merupakan salah satu masalah nasional dan bahkan telah lama menjadi bahan perdebatan publik terutama tentang tuntutan akan mutu pendidikan seiring dengan bergulirnya reformasi di segala bidang. Sejalan dengan sumber keberadaannya di masyarakat, sekolah dituntut oleh masyarakat untuk mempertanggung jawabkan tugasnya. Dengan kata lain  pendidikan dan pengajaran di sekolah dituntut agar dilaksanakan secara efektif, sesuai dengan standar-standar atau syarat-syarat yang berlaku.
          Pendidikan IPA merupakan wahana yang efektif untuk membawa  keterampilan olah pikir dengan arah menuju sikap ilmiah dalam mengimbangi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada perjalanannya agar efektivitas pendidikan tercapai tentu tidak bisa lepas dari kendali peranan supervisi. Program supervisi pendidikan IPA yang dikembangkan haruslah memberikan kontribusi terhadap pengembangan profesional guru. Secara alamiah, supervisi sebenarnya sudah dilakukan oleh guru ketika pembelajaran sedang berlangsung maupun sesudahnya. Melalui supervisi, guru memperoleh pengalaman praktik pembelajaran sebagai salah satu cara untuk meningkatkan diri atau memperbaiki mutu layanan pembelajaran di kelas.
         Kenyataannya, berdasarkan hasil laporan beberapa lembaga internasional, perkembangan pendidikan di Indonesia masih belum memuaskan. Hal ini tercermin dari hasil TIMSS (Trends Internasional in Mathematics and Science Study) yang menunjukkan bahwa kemampuan siswa Indonesia dalam bidang IPA berada pada urutan ke-38 dari 40 negara (kajian kurikulum mata pelajaran IPA, 2007). Oleh karena itu, pembaharuan pendidikan di Indonesia memang harus terus dilakukan. Perlu diupayakan penataan pendidikan yang bermutu dan terus menerus yang adaptif terhadap perubahan zaman. Rendahnya mutu sumber daya manusia Indonesia itu memang tidak terlepas dari hasil yang dicapai oleh pendidikan kita selama ini. Standar nasional pendidikan harus disempurnakan dan ditingkatkan secara berencana, terarah dan berkala sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
         Pendidikan IPA merupakan bagian dari keseluruhan sistem pendidikan nasional. Pada tingkat satuan pendidikan, pendidikan IPA dengan segala kekhasannya merupakan bagian dari sistem yang dikembangkan pada setiap satuan pendidikan. Mutu pendidikan IPA  bergantung pada manajemen mutu yang dikembangkan oleh tiap satuan pendidikan. Hal ini yang membawa konsekuensi, sistem manajemen mutu yang dikembangkan dalam pendidikan IPA seharusnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem manajemen mutu satuan pendidikannya, dan pada gilirannya merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Dengan kata lain, salah satu indikator keberhasilan program mutu yang dicanangkan Depdiknas adalah terciptanya sistem penjaminan mutu pendidikan IPA pada tingkat satuan pendidikan yang merupakan bagian dari sistem penjaminan mutu satuan pendidikan tersebut.

B. Sistem Penjaminan Mutu
  Penjaminan mutu di desain sedemikian rupa untuk menjamin bahwa proses produksi menghasilkan produk yang memenuhi spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Penjaminan mutu adalah pemenuhan spesifikasi produk secara konsisten atau menghasilkan produk yang selalu baik sejak awal (right first time every time) Sallis (2006). Penjaminan mutu merupakan strategi pencegahan agar dalam produksinya atau proses peyediaan jasa tidak ada proses yang tidak berguna. Dengan kata lain, memakai istilah Philip B. Crosby (dalam Sallis, 1993), tujuan adanya penjaminan mutu adalah menciptakan produk tanpa cacat ( zero deffect).
  Penjaminan mutu berkaitan dengan konsistensi produk dengan spesifikasinya merupakan salah satu cara untuk meyakinkan konsumen bahwa produk yang dihasilkan oleh produsen itu bermutu sesuai dengan standar-standar yang diatur oleh prosedur-prosedur yang ada dalam sistem jaminan mutu. Sistem penjaminan mutu pada akhirnya bermuara pada upaya peningkatan terus menerus (quality improvement), untuk memberi layanan yang memuaskan pengguna layanan.

C. Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan
   Dalam pandangan supervisi, pendidikan pada dasarnya merupakan suatu perusahaan (entreprise) dengan mengacu pada jaminan mutu (QA) untuk memuaskan kastemer. Kastemer pada institusi pendidikan yaitu : internal customer – Anak didik  eksternal customerOrang tua, Masyarakat,  Pemerintah, Dunia Usaha/Industri Usaha pendidikan ditujukan pada efektifitas belajar sebagai outcomes pembelajaran. Berdasarkan tuntutan profesionalisme, otonomi dan akuntabilitas profesional, pengawasan pendidikan dikembangkan dari kajian supervisi pendidikan. Supervisi pendidikan merupakan fungsi yang ditujukan pada penjaminan mutu mengajar- belajar yang dilakukan oleh guru. Supervisi akademik sama maksudnya dengan konsep supervisi pendidikan. Educational supervision sering disebut pula sebagai Instructional Supervision atau Instructional Leadership, yang menjadi fokusnya adalah mengkaji, menilai, memperbaiki, meningkatkan, dan mengembangkan mutu kegiatan belajar-mengajar yang dilakukan bersama dengan guru (perorangan atau kelompok) melalui pendekatan bimbingan dan konsultasi dalam nuansa dialog profesional.
   Ketika perencanaan pendidikan dikerjakan dan struktur organisasi persekolahannya pun disusun guna memfasilitasi perwujudan tujuan pendidikan, serta para anggota organisasi, yaitu guru dan tenaga kependidikan dipimpin dan dimotivasi untuk mensukseskan pencapaian tujuan, tidak dijamin bahwa semua kegiatan akan berlangsung sebagaimana yang direncanakan. Oleh sebab itu diperlukan adanya pengawasan sebagai mata rantai terakhir dan kunci dari proses manajemen.
   Mutu pendidikan kita harus ditata dengan suatu sistem penjaminan yang menjanjikan dan dapat diukur. Mutu harus sesuai dengan harapan dan kriteria pelanggan/ pengguna bukan hanya apa yang terbaik bagi institusi. Sistem penjaminan mutu pendidikan dimaksudkan untuk menunjuk sekumpulan elemen pendidikan yang saling terkait dalam suatu konstruksi fungsional dan diarahkan pada terjaminnya mutu pendidikan. Sebagai suatu sistem seharusnya mencakup ; masukan, proses, dan output yang sistemik. Baik masukan, proses maupun output yang ada di sistem ini harus menuju terjaminnya mutu pendidikan.
  Sistem penjaminan mutu pendidikan di Indonesia dapat dirunut dari Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
    Pasal 1 ayat (21) menyatakan, bahwa evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian,   penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggung jawaban penyelenggaraan pendidikan. Pasal 35 ayat (1): Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.
    Pasal 50 ayat (2): Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional. Pasal 51 ayat (1): pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah. Pasal 51 ayat (2): Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan. Pasal 57 ayat (2): Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga
2. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
          Pasal 2 ayat (2): Untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan dilakukan evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi. Pasal 91: (1) Setiap satuan pendidikan pada jalur formal dan nonformal wajib melakukan penjaminan mutu pendidikan. (2) Penjaminan mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan. Pasal 86: Pemerintah melakukan akreditasi pada setiap jenjang dan satuan pendidikan untuk menentukan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan. Pasal 87 ayat (1): akreditasi oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) dilaksanakan oleh: (a) BAN-S/M terhadap program dan/atau satuan pendidikan pendidikan jalur formal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah; (b) BANPT terhadap program dan/atau satuan pendidikan jenjang pendidikan tinggi; (c) BAN-PNF terhadap progam dan/atau satuan pendidikan jalur nonformal. Pasal 92 ayat (6): LPMP mensupervisi dan membantu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dalam melakukan upaya penjaminan mutu pendidikan.
   Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, tampak bahwa dari sisi peraturan perundang-undangan, pemerintah memiliki komitmen yang kuat terhadap mutu pendidikan, termasuk upaya penjaminan mutu pendidikan nasional. Peraturan perundang-undangan tersebut selanjutnya diimplementasikan antara lain melalui Rencana Strategis (Renstra) Depdiknas 2005-2009 (Depdinknas, 2006), yakni pensinkronan dengan program Bappenas antara lain dalam hal pengawasan dan penjaminan mutu secara terprogram dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan Survei Bencmarking Mutu Pendidikan terhadap standar internasional. Lebih lanjut dalam Renstra Depdiknas juga disebutkan bahwa salah satu orientasi pencapaian standar internasional adalah mendorong sekolah untuk dapat memperoleh sertifikat ISO, dan sampai dengan tahun 2009, 85% unit utama Depdiknas memperoleh sertifikasi ISO 9001:2000.

D. Sistem Penjaminan Mutu IPA di Sekolah
          Mata pelajaran IPA mempunyai karakteristik yang berbeda dengan mata pelajaran lain, dengan demikian proses pembelajaran dan sumber daya pendukung yang dibutuhkan juga berbeda. Sebagai konsekuensi dari hakekat IPA sebagai proses, produk, dan sikap, maka hasil dari pembelajaran IPA harus meliputi ketiga hal tersebut, jadi mutu pendidikan IPA bergantung kepada pembelajaran ketiga ranah tersebut. Untuk menjamin mutu pendidikan IPA diperlukan pembinaan dan pengawasan secara profesional. Akan tetapi pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Propinsi, maupun Kabupaten / Kota pada umumnya cenderung pada pengawasan dalam pengertian inspeksi dan kontrol, sehingga tidak / kurang mencapai sasaran.
    Penjaminan mutu pendidikan IPA adalah kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi atau  melampaui stándar mutu pengelolaan secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga stakeholders memperoleh kepuasan. Tujuannya adalah untuk Memelihara dan meningkatkan mutu pendidikan IPA secara berkelanjutan yang dilaksanakan oleh sekolah atau institusi lain, misalnya Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) secara internal untuk memenuhi kebutuhan stakeholder melalui penyelenggaraan proses pembelajaran yang sesuai dengan hakekat IPA.
     Agar efektifitas belajar dalam  pendidikan IPA tercapai, perlu adanya standar performan baik untuk proses maupun produk sebagai acuan mutu. Dalam standar pendidikan IPA harus dinyatakan kebutuhan esensial minimal konsep dan keterampilan proses IPA yang diperlukan untuk melek IPA. Melek IPA (scientific literacy) pada masyarakat Amerika didefinisikan sebagai pengetahuan dan pemahaman terhadap konsep dan proses ilmiah yang diperlukan untuk pembuatan keputusan personal, partisipasi dalam bidang hukum dan budaya, dan produktivitas ekonomi (National Academy of Sciences, 1996). NAS mencanangkan standar pendidikan sains nasional yang diorganisasikan dalam enam kelompok yaitu : 1) standar pengajaran sains; 2) standar pengembangan profesional guru-guru sains; 3) standar assesmen dalam pendidikan sains; 4) standar isi sains; 5) standar program-program pendidikan sains; dan 6) standar sistem pendidikan sains.
    Disamping pemenuhan enam standar yang telah ditetapkan, dalam National Science Teacher Association (NSTA), 2003. disyaratkan bahwa program penyiapan calon guru IPA harus mengacu pada sepuluh standar, sebagai berikut :
1.    Standar 1 : Konten
Guru-guru sains mengetahui dan dapat mengartikulasi pengetahuan dan penerapan sains terini. Mereka dapat menghubungkan dan menginterpretasikan konsep-konsep, ide-ide dan penerapan-penerapan di dalam bidang sesuai lisensi; dapat melakukan penyelidikan ilmiah
2.    Standar 2 : Hakikat Sains
Guru-guru sains mengajak siswa-siswanya untuk secara efektif belajar tentang sejarah, filosofi, dan penerapan sains. Mereka menyiapkan siswanya untuk membedakan sains dan nonsains, memahami evolusi penerapan sains sebagai kerja kersa manusia, dan melakukan analisis kritis yang dibuat atas nama sains.
3.    Standar 3 : Inkuiri
Guru-guru sains mengajak siswa-siswanya untuk belajar dalam berbagai metode inkuiri sains dan pembelajaran aktif melalui inkuiri ilmiah. Mereka mendorong siswa-siswanya  secara individu maupun kelompok untuk melakukan observasi, bertanya, merancang penyelidikan dan mengumpulkan serta menginterpretasikan data untuk mendapatkan konsep-konsep dan hubungannya dari pengalaman empiris.
4.    Standar 4 : Isu-isu
Guru-guru sains mengenali bahwa warga negara yang penuh informasi harus disiapkan agar dapat membuat keputusan dan berpartisipasi dalam issu-isu sains dan teknologi terkini kepada komunitasnya. Mereka meminta siswa-siswanya untuk melakukan inkuiri (penyelidikan) ke dalam dasar faktual tiap-tiap isu dan untuk menilai aksi yang mungkin dan hasilnya berdasarkan tujuan dan nilai-nilainya.
5.    Standar 5 : Keterampilan mengajar
Guru-guru sains menciptakan sebuah komunitas dari pebelajar-pebelajar yang beragam yang mengkonstruksi makna dari pengalaman sains mereka dan memiliki arahan untuk eksplorasi dan pembelajaran lebih lanjut. Mereka menggunakan, dan dapat memberi alasan, berbagai pengaturan kelas, pengelompokan, aksi, strategi, dan metodologi.
6.    Standar 6 : Kurikulum
Guru-guru sains merencanakan dan mengimplementasikan kurikulum yang aktif, yang aktif, koheren, dan efektif, yang konsisten dengan tujuan dan rekomendasi NSES.  Mereka mulai dari pemikiran yang dalam dan secara efektif menggabungkan penerapan-penerapan dan sumber-sumber ke dalam perencanaan dan pengajaran.
7.    Standar 7  : Sains dalam Komunitas
Guru-guru sains mengkaitkan disiplin ilmunya dengan komunitas lokal dan regionalnya, termasuk pemangku kepentingan dan memanfaatkan sumber-sumber individual, institusional, dan alam di komunitasnya ke dalam pengajarannya. Mereka secara aktif mengajak siswa-siswanya ke dalam penyelidikan atau aktivitas yang mengkaitkan sains dengan isu-isu lokal yang penting.
8.    Standar 8 : Asesmen
Guru-guru sains mengkonstruksi dan menerapkan strategi-strategi asesmen untuk menghasilkan latar belakang dan kemampuan pebelajar-pebelajar dan memfasilitasi perkembangan intelektual, sosial, dan personal pebelajar-pebelajar tersebut. Mereka menilai siswa-siswanya secara adil dan setara dan mengajak siswanya dalam asesmen-diri berkelanjutan.
9.    Standar 9 : Keselamatan dan Kesejahteraan
Guru-guru sains mengorganisasikan lingkungan pembelajaran yang aman dan efektif yang meningkatkan keberhasilan siswa dan kesejahteraan segenap mahluk hidup. Mereka mengharuskan dan menunjukkan pengetahuan dan penghargaan terhadap keselamatan dan menjaga kesejahteraan semua makhluk hidup yang digunakan di kelas atau yang ditemukan di lapangan.
10.  Standar 10 : Pertumbuhan Profesional
Guru-guru sains bekerja keras secara terus menerus untuk tumbuh dan berubah, secara personal dan profesional untuk memenuhi kebutuhan beragam siswa-siswa, sekolah, komunitas, dan profesinya. Mereka memiliki hasrat dan watak untuk tumbuh dan menjadi lebih baik.
         Jika standar-standar tersebut kita kaitkan dengan standar di Indonesia, hal yang menonjol sebagai kekurangan sistem standar di Indonesia adalah standar yang belum di fokuskan pada standar pembelajaran sains/IPA. Standar yang ada masih bersifat umum untuk semua jenis mata pelajaran. Jika standar tersebut dikaitkan dengan praktik pembelajaran guru sains di Indonesia, hal yang menonjol sebagai kekurangan guru sains di Indonesia adalah penerapan hakikat sains, inkuiri, dan isu-isu sosial dalam pembelajaran sains.

E. Strategi Penjaminan Mutu Pendidikan IPA

          Sekolah sebagai institusi harus meletakkan penjaminan mutu sebagai prioritas (quality first). Penjaminan mutu memastikan tidak ada cacat (zero defect) berdasarkan standar yang telah ditetapkan dalam keseluruhan proses pendidikan IPA yang menjamin bahwa siswa telah ditangani secara benar sejak awal (right first time and every time) sampai lulus sesuai dengan standar kelulusan. Penjaminan mutu merupakan peningkatan berkelanjutan (continuous improvement) untuk memberikan  layanan yang memuaskan bagi pelanggan primer yaitu siswa (Mukhupadhyay, 2005). Continuos improvement harus di mulai dari level sistim paling dasar, yaitu sistem kelas.
*        Peningkatan Berkelanjutan (continuous improvement) : dalam kelas IPA.
a.                                   Memandang Kelas Sebagai Suatu Sistem
            Dalam bukunya yang berjudul Continuous Improvement in The Science   Classroom, Burgard mengatakan bahwa salah satu inti dari pendekatan filosofi dari Deming adalah ketika keberadaan masalah, bukan masalah orangnya yang jadi masalah. Dia yakin bahwa 95 sampai 97 persen dari masalah adalah masalah sistem dan hanya 3 sampai 5 persen adalah masalah orangnya. Di dalam kelas guru seringkali menyalahkan siswa ketika sesuatu tidak berjalan baik. Beberapa guru mengatakan siswa tidak bertanggung jawab, malas atau tidak cukup pintar dan tidak hormat. Siswa akan mengatakan guru membosankan dan tidak perduli. Menyalahkan orang lain tidak akan pernah memecahkan masalah. Berfikir sistem  merupakan suatu pendekatan dalam pemecahan masalah. Sebelum menerapkan berfikir sistem, guru terlebih dahulu perlu memahami bagian dari sistem dan bagaimana menerapkannya di kelas. Berikut gambaran sistem di kelas :

Gambar 1. Classroom as a system (Burgard 2000)

     Gambar di atas menunjukkan bahwa tujuan dari keperluan di kelas harus didefinisikan dengan jelas dan mudah untuk dipahami. Tujuan dalam suatu organisasi atau sistem kelas sangatlah penting, seperti yang dikatakan oleh Burgard (2000) “Aim becomes the guiding light and the focus of classroom through the year and it also becomes the gauge by which activities and projects are selected”. Tujuan di dalam kelas juga harus vertikal dengan tujuan tim, departemen, sekolah. Tujuan pendidikan IPA secara umum adalah “Science Literacy”, termasuk di dalamnya ;
·      Mengembangkan sikap positif pada siswa terhadap sains dan meningkatkan  minat siswa pada fenomena-fenomena alam dan penerapan teknologi
·      Memahami konsep sains dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
·      Meningkatkan berfikir proses sains selama proses belajar berlangsung.
·      Meningkatkan nilai positif dan pengetahuan tentang sains sebagai bagian dari masyarakat juga memberikan informasi kepada masyarakat mengenai perkembangan teknologi nasional.
     Pada sistem kelas siswa bertindak sebagai suplier, custumor dan product. Siswa-siswa tersebut datang dari berbagai wilayah dengan pengetahuan yang masih minim, guru akan mencetak materi dan mentransfernya kepada kastemer dalam hal ini siswa. Proses yang terjadi di kelas merupakan penerjemahan kurikulum untuk siswa, yang menggunakan berbagai gaya dan metode mengajar. Output ? setiap akhir tahun, banyak siswa yang melewati sistem sekolah dan hasil dari pembelajaran mereka menjadi produk dari sistem. Guru perlu meluluskan produk yang baik dan lebih baik lagi setiap tahunnya. Kastemer pada sistem sekolah terdiri dari dua yaitu kastemer eksternal dan internal. Kastemer eksternal terdiri dari masyarakat, perusahaan, guru pada level berikutnya dan orang tua, sedangkan kastemer internalnya adalah siswa, dari kastemer inilah diperoleh feedback. Guru memerlukan feedback dari berbagai sumber, mereka perlu mengetahui apa yang dirasakan siswa, dan apa yang telah mereka pelajari. Mereka akan memperolehnya melalui pertemuan dengan para orang tua. Dengan memahami posisinya dalam suatu sistem maka seorang guru dapat menemukan cara untuk meningkatkan setiap bagian sehingga sistem berfungsi dengan baik.

b.   Implementasi Continuous Improvement
1).   Jurnal Perbaikan Berkelanjutan (Continuos Improvement Journal)
o  Kalender (Calendars)
Sembilan kalender kosong di letakkan di halaman paling depan dari jurnal, berdasarkan kalender tersebut siswa dapat memberi tanda tanggal-tanggal penting mana yang akan ditandatangani atau pekerjaan rumah dan akan di beri nilai oleh gurunya. Di akhir smester para wali murid akan mengetahui hal tersebut.
o  Rubrik (rubrics)
Rubrik penilaian, melalui rubrik ini siswa mengetahui mengapa nialinya baik atau buruk.
o  Peta kesalahan (The error chart)
Siswa dapat mengetahui area-area khusus yang harus ditingkatkan.
o  100 fakta (The 100 facts)
Siswa diberikan 100 fakta yang perlu mereka ketahui mengenai sains.
o  Peta perjalanan individual (Individual Run Charts)
Siswa diberika empat alat untuk mengetahui wilayah-wilayah mana yang ahrus dikembangkan. Empat area tersebut adalah : perolehan informasi, pengetahuan, semangat/ kegairahan belajar dan perjalanan pembelajaran
o  Hadiah (little rewards)
Sebagai penghargaan dari hasil kerja yang baik, diberikanlah suatu hadaiah. Seperti pada siswa SMP yang suka dengan stiker, diberikanlah stiker bintang emas pada jurnalnya sebagai tanda pekerjaannya yang sempurna.

2).   Papan Perbaikan Berkelanjutan (Continuous Improvement Board)
Tugas siswa adalah membuat perjalanan peningkatan mereka masing-masing yang di dokumenkan dalam jurnal. Sedangkan tugas guru adalah menjaga atau membuat peta perjalanan peningkatan secara klasikal yang di tuliskan dalam papan tulis dan di gantung di dalam kelas. Ada lima point penting dalam Board improvement yaitu ;
o    Peta Perjalanan Kelas (Class Run Chart)
Peta ini mejadikan motivasi tersendiri, ketika seorang guru mengajar lebih dari satu kelas papan peningkatan ini akan memperlihatkan kelas mana yang nilainya lebih baik. Nilai kelas ini merupakan kontribusi dari individual run chart.
o    Histogram Permasalah Setiap Minggu ( Problem of the Week Histogram)
o    Grafik Semangat dan Belajar ( Enthusiasm and Learning Graphs)
o    Grafik penilaian guru (Substitute Teacher Evaluation Graph)
Inti dari dua strategi ini adalah hal ini penting dalam peningkatan kelas secara berkelanjutan, siswa perlu diberikan sumber-sumber bagaimana mereka bisa mengetahui dan mengevaluasi sendiri perbaikan mereka, selain itu juga diperlukan monitor perbaikansecara klasikal.


3).  Siklus PDSA (The PDSA Cycle)
Tujuan dari mengajar adalah membantu siswa memperbaiki/ meningkatkan segala yang bisa tingkatkan dan memperoleh apapun yang mereka dapat peroleh. Hal ini dilakukan dengan menyingkirkan penghalang di kelas yang menghalangi semangat dan pembelajaran. PDSA (Plan, Do, Study Act) merupakan metode sains pada aplikasi yang berbeda, dipinjam dari TQM Pelaksanaan PDSA ini diawali dengan parent plus delta chart, yang berisi feed back dari para wali murid. Pengisian chart para wali murid ini juga berdasarkan apa yang dikatakan oleh anak-anak mereka. Ketika feedback untuk perbaikan diperoleh, saatnya membuat perencanaan untuk dilakukan. Kemudian guru dan murid perlu melaksanakan (Do) plan yang telah dibuat, kemudian mempelajari (Study) hasil yang telah siperoleh, setelah di analisis baru dilaksanakan tindakan (Act), atau membuat rencana kembali. Seperti yang tergambar pada gambar berikut
Cycle Diagram
Gambar 2. Siklus Perbaikan berkelanjutan pada pembelajaran IPA
 (Burgard 2000)

F.       Mekanisme sistem penjaminan mutu : Supervisi Pendidikan IPA
    Apa yang terjadi dalam pembelajaran IPA, saat guru masuk ke dalam kelas dan pintu kelas ditutup? Apakah continuous improvement di kelas berlangsung ?. Apakah ada jaminan bahwa proses pembelajaran IPA yang dilakukan tidak ada penyimpangan mulai dari perencanaan, PBM, asesmen, sampai dengan pengambilan keputusan terhadap siswa? Bagaimana mendeteksi dan mencegah sejak dini potensi penyimpangan yang timbul, sehingga siswa (dan semua kastemer) tidak dirugikan oleh praktik pembelajaran IPA yang tidak profesional? Jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah “Itulah alasan mengapa sistem penjaminan mutu pendidikan IPA pada tingkat satuan pendidikan diperlukan”.
  Sesuai uraian sebelumnya, sistem manajemen mutu pendidikan IPA merupakan bagian dari sistem manajemen satuan pendidikan, sehingga secara umum berupa siklus plan, implement, assess, dan improve atau PDCA (plan, check, do, action) dalam sistem ISO.
Gambar 3 memperlihatkan bagan alur sistem penjaminan mutu pendidikan IPA.
Gambar 3. Pengembangan kualitas berkelanjutan model PDCA (Widodo, 2008)

a. Perencanaan (planning)
          Langkah pertama sistem ini adalah melakukan evaluasi diri, untuk mendapatkan gambaran posisi pendidikan IPA pada satuan pendidikan tersebut saat ini. Evaluasi diri ini dapat meliputi karakteristik siswa, sarana/prasarana untuk pembelajaran IPA, ketersediaan guru IPA (jumlah dan mutu), profil orang tua siswa, dan sebagainya. Evaluasi diri ini diperlukan untuk menetapkan standar mutu, agar nantinya dapat dijangkau oleh pendidikan IPA dalam satuan pendidikan tersebut.
b. Implementasi (Implemetation)
          Setelah standar mutu ditetapkan, SOP untuk mencapai standar mutu dirumuskan, personalia diidentifikasi dan mendapatkan deskripsi tugas, selanjutnya hal tersebut diterapkan. Penerapan dalam pembelajaran IPA terentang mulai dari penyusunan silabus sampai dengan pengkomunikasisan hasil asesmen kepada orang tua siswa. Dalam tahap implementasi, guru memiliki peran sentral. Gurulah yang merencanakan, melaksanakan pembelajaran, melakukan asesmen, pembimbingan, dan lain-lain. Sembari melakukan pelaksanaan, guru melakukan pencatatan pada form yang bersesuaian. Selain itu, pada tahap ini (sesuai SOP) mungkin ada petugas monitoring (atau pengisian form ‘monitor diri’). Siswa dilibatkan, misalnya dalam memberikan ‘penilaian pengajaran IPA yang dilakukan guru “X” oleh siswa’. Semua pihak harus menyadari, bahwa monitoring ini merupakan ‘komitmen untuk mutu’ yang telah disepakati oleh semua pihak untuk dilaksanakan. Keterlibatan pihak lain dalam implementasi dikendalikan oleh standar mutu dan SOP yang telah disusun. Jika dalam standar mutu dinyatakan bahwa ‘paling sedikit satu semester sekali dilakukan supervisi terhadap pembelajaran IPA oleh pengawas dinas dan/atau LPMP maka informasi dan fasilitasi kepada pihak tersebut perlu dilakukan.
c. Asesmen mutu (Assessment)
          Audit mutu dilakukan untuk memberi jawaban apakah penyelenggaraan pendidikan (dalam hal ini pendidikan IPA) telah memenuhi rambu-rambu, standar ambang, atau kriteria yang ditetapkan (Satori, 2007). Untuk melihat kemajuan pelaksanaan standar tadi dan untuk memastikan bahwa arah pelaksanaan ini sesuai dengan rencana, perlu dilakukan monitoring dan evaluasi. Evaluasi diri dilakukan terutama untuk melihat kekuatan dan kelemahan satuan pendidikan kaitannya dengan upaya pemenuhan standar. Tahapan selanjutnya adalah ‘Audit Mutu Akademik Internal (AMAI)’ untuk melihat kepatuhan terhadap standar mutu yang telah ditetapkan. Hasil yang diperoleh dari tahapan monitoring dan evaluasi, evaluasi diri, dan audit mutu internal serta ditambah dengan masukan dari seluruh stakeholders, digunakan sebagai pertimbangan di dalam melakukan peningkatan mutu.

F. Faktor pendukung dan penghambat penjaminan Mutu ??

Rabu, 03 November 2010

Effectiveness of Cooperative Learning Model Type STAD and TPS Against the Results of Student Learners

Studi Perbandingan Implementasi Model Pembelajaran Kooperatif
 ( Case Studies in senior high school  in Madura City)
Yenny Anwar*
*) Biology education courses of Faculty teaching and science education
Sriwijaya University, jl. Raya Palembang –Prabumulih Km. 35 Indralaya Ogan Ilir,
E Mail : yeyen.unsri@gmail.com
Abstract
The aim of this study was to determine the effectiveness of cooperative learning model of type STAD and TPS to solve student learning outcomes in the matter of the reproductive system, the effectiveness of both models can be seen from the results of student learning, teachers' ability to manage teaching and student activities. Design research using pretest-posttest -Control-Group - designSelain itu dilihat juga respon dan kendala-kendala yang akan muncul pada saat KBM berla, with research subjects high school students at Madura.Hasil penelitian menunjukkan 1) Hasil dari kedua uji coba menunjukkan ada perbedaan yang signifikan dari hasil belajar siswa yang diajar dengan menggunakan strategi STAD dan TPS dengan taraf signifikan 5%, namun semua siswa tuntas dalam materi sistem reproduksi. The result of the study indicates that: (1) the result from both try-outs shows the significant differences from the result of student’s learning using STAD and TPS strategies with the significant level 5%, but all of students complete the subject of reproduction system well. (2) The teacher’s ability in manage teaching learning process using STAD and TPS strategies is categorized into a good category with the average score to 3.5. (3) The dominant activity of the student in STAD and TPS strategies is doing the student’s activity sheets (LKS) in a group. Based on the result of the study, it can be concluded that both cooperative learning model type STAD and TPS are effective in teaching the subject of reproductive system.

Key words: Reproductive Sytem, STAD, TPS


Background

Para ahli pendidikan telah banyak mencoba membuat tafsir tentang belajar, kemudian sering terjadi pendapat yang berbeda di antara para ahli tersebut. Sastrawijaya (2000), menjelaskan bahwa belajar merupakan hal yang sangat kompleks, yang terdiri atas banyak komponen yang harus saling bekerjasama. Belajar dalam pengertian yang lebih luas merupakan perubahan tingkah laku yang dinyatakan dalam bentuk penguasaan, penggunaan, dan penilaian mengenai sikap-sikap dan nilai-nilai, pengetahuan dan kecakapan dasar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan atau pengalaman yang terorganisasi (Bahri, 2000).        Reality on the ground are often found in high student curiosity to discover something of interest has not been accommodated so that students do not develop. In teaching science in the classroom is often met students who are difficult to ask questions, in group work there are only a few students who are active, intelligent students who belong tend not to want to help his friend to explain what he knew, students who do not understand do not want to ask friends who already understand and when given the questions the students tend to be quiet.
       Teachers can assist this process in ways that make teaching the information to be very meaningful and very relevant for students, by providing opportunities for students to discover or implement their own ideas and to encourage students to be aware and to consciously use their strategies own to learn (Nur and Wikandri, 2000: 2). Lately, teacher thinking has been the focus of research in finding out the components of effective teaching.
        Dengan alasan inilah banyak para peneliti mencoba merancang perangkat pembelajaran dengan menggunakan berbagai model, salah satunya yaitu model kooperatif. Pembelajaran kooperatif adalah salah satu model pembelajaran yang menekankan pada keunikan struktur tugas, struktur tujuan, dan struktur penghargaan (Ibrahim dkk, 200   For this reason, many researchers tried to design a learning device using various models, one that is cooperative model. Cooperative learning is one of the learning model that emphasizes the uniqueness of the task structure, the structure of goals, and reward structures (Ibrahim et al, 2005:2). Pendekatan konstruktivis dalam pengajaran menerapkan pembelajaran kooperatif secara luas, berdasarkan teori bahwa siswa lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temannConstructivist approach in teaching of cooperative learning is widely applied, based on the theory that students more easily find and understand the concepts that are difficult if they were discussing the issue with his friend. Siswa secara rutin bekerja dalam kelompok untuk saling membantu memcahkan masalah-masalah yang kompleks (Nur dan Wikandri 2000:8). Students regularly work in groups to help each other solving complex problems (Nur and Wikandri 2000:8).
       The model of cooperative learning (Ibraham, et al 2005: 20), consisting of 4 approaches, STAD, jigsaw, an investigation group (IK) and the structural approach. Where the structural approach emphasizes the use of structures designed to influence the pattern of student interaction. Struktur yang dimaksudkan sebagai alternatif terhadap struktur kelas konvensional seperti resitasi, yakni guru mengajukan pertanyaan kepada seluruh kelas dan siswa memberikan jawaban setelah mengangkat tangan dan ditunjuk. The structure is intended as an alternative to conventional classroom structures such as recitation, the teacher asking questions to the whole class and students give the answer after lifting the hand and appointed. Struktur ini menghendaki siswa untuk bekerja saling membantu dalam kelompok kecil dan lebih dicirikan oleh penghargaan kooperatif, daripada penghargaan individual. (Ibrahim, dkk. 2005 : 25). This structure requires students to work to help each other in small groups and more characterized by the award of cooperative, rather than individual awards. (Ibrahim, et al. 2005: 25).
       Banyak penelitian perbandingan pembelajaran kooperatif dengan metode mengajar tradisional telah mengevaluasi pembelajaran kooperatif seperti STAD, Jigsaw II, TAI, CIRC dan metode Jonson. Many studies comparing cooperative learning with traditional teaching methods have been evaluated cooperative learning such as STAD, Jigsaw II, TAI, and the method of Jonson Circ. Lebih dari 100 penelitian telah membandingkan hasil belajar siswa yang belajar dengan metode-metode itu  dengan yang belajar dengan metode tradisional dalam periode paling sedikit 4 minggu (Slavin; dalam Nur dan Wikandri, 2000 :39). Hasil-hasilnya secara konsisten menunjukkan keunggulan pembelajaran kooperatif (Nur dan Wikandri, 2000 :39). More than 100 studies have compared the learning outcomes of students who studied with the methods by which learning with traditional methods in a period of at least 4 weeks (Slavin; in Nur and Kenyataan di lapangan masih sering ditemukan keingintahuan siswa yang tinggi untuk menemukan sesuatu belum terakomodasi sehingga minat siswa tidak berkembang. Dalam KBM IPA di kelas masih sering dijumpai siswa yang sulit untuk mengajukan pertanyaan, dalam kerja kelompok hanya ada beberapa siswa yang aktif, siswa yang tergolong pandai cenderung tidak mau membantu temannya untuk menjelaskan apa yang diketahuinya, siswa yang belum mengerti tidak mau bertanya kepada temannya yang sudah mengerti dan ketika diberikan pertanyaan siswa cenderung diam.      Biologi sebagai proses sains diperoleh melalui kegiatan ilmiah yang disebut metode ilmiGuru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan pada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan dengan secara sadar menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar (Nur dan Wikandri, 2000 :2          
        Wikandri, 2000: 39). The results have consistently demonstrated the superiority of cooperative learning (Nur and Wikandri, 2000: 39).
       Muchlis (2001), menerapkan perangkat pembelajaran kooperatif tipe STAD pada mata pelajaran kimia SMU, pokok bahasan gugus fungsi senyawa karbon serta alkohol dan ester. Muchlis (2001), applying the device type STAD cooperative learning in high school chemistry course, the subject of functional group of carbon compounds as well as alcohols and esters. Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa siswa telah tuntas mencapai TPK produk dan TPK psikomotor. From the analysis it can be concluded that the students have been thoroughly achieved TPK products and psychomotor. Model pembelajaran kooperatif (Ibrahim, dkk 2005 : 20), terdiri dari 4 pendekatan yaitu, STAD, jigsaw, investigasi kelompok (IK) dan pendekatan struktural. Di mana pendekatan struktural menekankan pada penggunaan struktur yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi s
        From the results of data analysis performed by Zulfatni (2004), on the subjects of biological material of human hormone study concluded that student achievement in the experimental class (which followed the use of learning strategies TPS) better than control students' learning achievement (which follow the conventional learning .)
      Rumallang (2003) dan Harjono (2005), juga melakukan penelitian yang sama pada mata pelajaran Fisika yang hasilnya menunjukkan bahwa penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TPS pada KBM telah meningkatkan THB proses, produk dan psikomotor. Rumallang (2003) and Harjono (2005), also conducted similar research on the subjects of Physics and the results showed that the use of cooperative learning model type TPS on learning has increased THB processes, products and psychomotor.
      Adapun materi yang peneliti pilih adalah bahan kajian sistem reproduksi, materi ini berupa pengetahuan deklaratif yang memuat banyak istilah latin, bahan ajarnya terlalu banyak sehingga sulit untuk dihafal dan dipahami. Siswa cenderung pasif dalam menerima pelajaran yang diberikan oleh gurunya. Agar siswa terlibat secara aktif maka diperlukan suatu pendekatan pembelajaran yaitu pembelajaran kooperatif diantaranya adalah tipe student teams achievement divisison(STAD) dan think-pair-share(TPS), karena pada model pembelajaran ini siswa dituntut untuk saling berinteraksi dan bekerja sama dalam kelompok untuk memecahkan setiap permasalahan. Sehingga memungkinkan siswa untuk berdiskusi dan tanya jawab antar siswa dengan siswa maupun antar siswa dengan guru. The material of which the researchers chose is the reproductive system study materials, this material in the form of declarative knowledge that contains many Latin terms, ajarnya too much material making it difficult to memorize and understand. Students tend to be passive in accepting the lessons given by teacher. In order for students to actively engage the needed a learning approach which is a type of cooperative learning among student teams achievement divisison (STAD) and think-pair-share (TPS), because in this model students are required to interact and work together in groups to solve every problem. So that allows students for discussion and questions and answers between students with a student or between students and teachers. Yang akhirnya diharapkan dapat  menumbuhkan keterampilan sosial pada siswa. Which ultimately aims to foster social skills in students. Selain itu pembelajaran kooperatif tipe STAD dan TPS lebih memiliki kekuatan dan peluang yang baik untuk menumbuh kembangkan kemampuan menerapkan konsep, keterampilan berkomunikasi, keterampilan mengajukan pertanyaan. In addition, type STAD cooperative learning and TPS have more power and a good opportunity to cultivate the ability to apply concepts, communication skills, skills of asking questions.
      Selain alasan-alasan tersebut di atas, pendekatan STAD dan TPS merupakan strategi yang sederhana dan telah mampu meningkatkan hasil belajar siswa. TPS merupakan salah satu pendekatan kooperatif struktural yang merupakan strategi berfikir secara berpasangan yang lebih memungkinkan dilakukan pada kelas yang besar sedangkan STAD merupakan pendekatan kooperatif yang beranggotakan 4-5 orang dan lebih efektif untuk kelas kecil. In addition to the reasons mentioned above, and TPS STAD approach is a strategy that is simple and has been able to improve student learning outcomes. TPS is one of the structural approach to cooperative thinking strategies in pairs is more likely done in large classes while STAD is a cooperative approach consisting of 4-5 people and is more effective for small classes. Adanya pembandingan antara siswa yang diajarkan secara berpasangan  dengan secara kelompok, maka dapat diketahui mana lebih efisien dan efektif dalam KBM khususnya pada materi sistem reproduksi. The existence of comparisons between students who are taught in pairs with the group, which then can be found more efficiently and effectively in teaching and learning materials especially in the reproductive system.
       Based on the author wants to do research on the effectiveness of Cooperative Learning Model Type STAD and TPS Type Of Student Results.
Method
This research can be classified into experimental research. Subjek penelitian adalah siswa SMU Negeri 1 Arosbaya sebanyak 4 kelas dan siswa SMU Negeri 1 Tanjung Bumi, sebanyak 2 kelas yang masing-masing kelas terdiri atas 39-40 siswa. The subjects were students of SMU Negeri 1 Arosbaya 4 classes and students SMU Negeri 1 Tanjung Bumi, as much as 2 classes, each class consists of 39-40 students. Dengan alasan SMU Negeri 1 Arosbaya dan SMU Negeri 1 Tanjung Bumi terbuka dan responsif terhadap upaya-upaya peningkatan kualitas pembelajaran di kelas. This research was initiated with the development of tools as instruments for conducting research. Pengembangan perangkat ini menggunakan model pengembangan perangkat four-D (model 4D). Analisa data menggunakan analisis deskriftif dan inferensial. Development of these devices using software development model of four-D (model 4D). Analyze data using descriptive and inferential analysis. The design of this study using pretest-posttest -Control-Group - design.
Discussion
As with term limits on effective when learning is said to satisfy: 1) score high student learning outcomes, at least 85% the proportion of students answer correctly on the final test of ≥ 65. 2) Guru dalam mengelola KBM baik dan  3) Kadar aktivitas siswa tinggi. 2) good managing in learning and 3) high levels of student activity.
1. 1. Hasil Belajar Siswa Student Results
Hasil belajar diukur dari ketuntasan nilai siswa secara individual dan klasikal.       Learning outcomes measured by the thoroughness of individual students and classical. Ketuntasan hasil belajar berdasarkan standar ketuntasan minimal yang ditetapkan di SMU Arosbaya dan SMA Negeri 1 Tanjung Batu, yaitu sebesar 65%. Mastery learning outcomes based on defined minimum mastery standard in high school SMA Negeri 1 Arosbaya and Tanjung Batu, namely by 65%. Hasil tes belajar siswa yang diajar dengan menggunakan strategi STAD dan TPS baik secara individual maupun klasikal semuanya tuntas. The test results students who are taught using STAD strategy and TPS both individually and classical are all complete. Pada kelas konvensional (kontrol) ketuntasan secara individual tidak semua siswa tuntas sedangkan secara klasikal tuntas. In conventional class (control) exhaustiveness individually, not all students complete while in a completely classical. Dari hasil analisis data yang dilakukan oleh Zulfatni (2004), pada mata pelajaran biologi bahan kajian hormon manusia diperoleh kesimpulan bahwa prestasi belajar siswa pada kelas eksperimen (yang mengikuti pembelajaran menggunakan strategi TPS ) lebih baik daripada prestasi belajar siswa kelas kontrol (yang mengikuti pembelajaran konvensionaBerdasarkan hal tersebut penulis ingin melakukan penelitian mengenai keefektifan Model Pembelajaran Kooperatif antara Tipe STAD dan Tipe TPS Terhadap Hasil B
Berdasarkan hasil diperoleh data bahwa 100% siswa yang diajar dengan menggunakan strategi STAD maupun TPS proporsi jawabannya yang benar pada uji akhir tidak kurang dari 65.       Based on the data showed that 100% of students who are taught using STAD strategy and polling proportion correct answers on the final test of not less than 65. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembelajaran biologi dengan menggunakan strategi STAD dan TPS efektif mengajarkan pokok bahasan sistem reproduksi di SMU Negeri Arosbaya Madura dan SMU Negeri 1 Tanjung Batu. Thus it can be said that learning biology using STAD strategy and TPS effectively teach the subject of the reproductive system at SMU Negeri Arosbaya Madura and SMU Negeri 1 Tanjung Batu. Karena melebihi 85% siswa yang proporsi jawabannya lebih dari 65. Because more than 85% the proportion of students who answer more than 65.
      Perbedaan hasil belajar siswa diuji menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) karena pada uji coba 2 sampel yang digunakan lebih dari dua kelompok. Differences student learning outcomes were tested using Analysis of Variance (ANOVA) because the second test sample used more than two groups. Data dianalisis dengan menggunakan program SPSS 16.0. Data were analyzed using SPSS 16.0.
Setelah diketahui bahwa populasi berdistribusi normal dan memiliki varians yang sama, kemudian dilanjutkan dengan uji ANOVA, untuk menguji apakah ketiga rata-rata populasi tiap kelompok mempunyai rata-rata (Mean) yang sama, data yang digunakan adalah data selisih hasil pretes dan postes siswa .      Having in mind that the population has a normal distribution and equal variance, followed by ANOVA test, to test whether the average third of the population of each group had an average (mean) the same, the data used is the difference data pretest and posttest results of students.
TABEL 4.1 TABLE 1
ANOVA ANOVA
Hasilbelajar outcomes






Sum of Squares Sum of Squares
Df Df
Mean Square Mean Square
F F
Sig. Sig.
Between Groups Between Groups
4220.736 4220.736
2 2
2110.368 2110.368
54.081 54.081
.000 .000
Within Groups Within Groups
10692.181 10692.181
274 274
39.023 39.023


Total Total
14912.917 14912.917
276 276



Dari hasil uji ANOVA tersebut di dapatkan F hitung 54,081 dengan probabilitas 0,000.  F  tabel dengan taraf signifikan 5%, dari tabel didapat angka 19,495.      From the results of these ANOVA F test get 54.081 with probability 0.000. F table with significance level of 5%, figures obtained from table 19.495. Karena F hitung 54,081 >  F (2,274) 19,495 maka Ho ditolak. Because the F test 54.081> F (2.274) 19.495 then Ho is rejected. Berdasarkan nilai probabilitasnya,  0,000 < 0,05  maka H 0 ditolak, hal tersebut mengandung makna bahwa rata-rata nilai ketiga kelompok tersebut memang berbeda Based on probability values, 0.000 <0.05 then H 0 is rejected, it implies that the average value of all three groups are different . Having in mind that there are significant differences among the three groups, then will proceed to the analysis of LSD, to determine which groups are different and that is no different. Uji signifikansi perbedaan mean antara kelompok berdasar nilai probabilitas. Test of significance of mean difference between groups based on probability values.Setelah diketahui bahwa ada perbedaan yang signifikan di antara ketiga kelompok tersebut, maka akan dilanjutkan ke analisis LSD, untuk mengetahui mana saja kelompok yang berbeda dan yang tidak berb
TABEL Table .2
Multiple Comparison Multiple Comparison
Hasilbelajar outcomes
LSD LSD



(I) kelas (I) class
(J) kelas (A) class
Mean Difference The mean Difference
(IJ) (IJ)
Std. Std. Error Error
Sig. Sig.






TPS TPS
STAD STAD
3.38384 * 3.38384 *
.88788 .88788
.000 .000
Kontrol Control
9.73597 * 9.73597 *
.94240 .94240
.000 .000
STAD STAD
TPS TPS
-3.38384 * -3.38384 *
.88788 .88788
.000 .000
Kontrol Control
6.35213 * 6.35213 *
.94240 .94240
.000 .000
Kontrol Control
TPS TPS
-9.73597 * -9.73597 *
.94240 .94240
.000 .000
STAD STAD
-6.35213 * -6.35213 *
.94240 .94240
.000 .000
*. The mean difference is significant at the 0.05 level. *. The mean difference is significant at the 0:05 level.

Dari hasil analisis LSD di atas telihat nilai probabilitas adalah 0,000. Oleh karena probabilitas tiap kelompok 0,000 < 0,05, maka Ho ditolak, yang berarti bahwa perbedaan rata-rata nilai siswa pada tiap kelompok benar-benar nyata atau signifikanFrom the analysis above seemingly LSD probability value is 0.000. Therefore, the probability of each group of 0,000 <0.05, then Ho is rejected, meaning that the difference in the average value of students in each group actually real or significant. Perbedaan tersebut dapat dilihat dengan mudah pada output dengan adanya tanda ( * ) yang  berarti bahwa  antara kelasTPS dan STAD ada perbedaan yang signifikan, antara kelas TPS dan kontrol juga ada perbedaan yang signifikan. The difference can be seen easily in the output with the sign (*) which means that between kelasTPS and STAD no significant differences between TPS and control classes there are also significant differences. Begitu juga jika kita bandingkan antara kelas STAD dan kontrol juga ada perbedaan yang signifikan. So also if we compare between classes STAD and control there is also a significant difference.
Nilai perbedaan mean dari strategi yang berbeda dapat dilihat pada diagram berikut Mean difference value of different strategies can be seen in the following diagram 

Figue 1.
  Pada Diagram 4.1 rekap uji akhir strategi STAD dan TPS dan kontrol di atas terlihat bahwa dari hasil nilai rata-rata selisih pre tes dan post tes  siswa ada perbedaan nilai rata-rata siswa yang diajar dengan strategi STAD, TPS dan kelas tanpa perlakuan (kontrol).   In Figure 1 recaps the final test STAD strategy and TPS  and controls on top of the results shows that the average value of the difference between pre test and post test students there are differences in the average value of students who are taught with STAD strategy, TPS and class without treatment (control) . Dari nilai tersebut kita dapat melihat bahwa hasil belajar siswa dengan menggunakan strategi TPS lebih besar dari hasil belajar siswa yang diajar dengan menggunakan strategi STAD dan kontrol. From these values we can see that student learning outcomes using TPS strategy is greater than the results of student learning and are taught by using STAD strategy and control.
2. 2. Hasil Pengamatan Kemampuan Guru dalam Mengelola Pembelajaran   Kooperatif dengan strategi STAD dan TPS. Observation Results Teacher Skills in Managing Cooperative Learning with STAD and TPS strategy.
      
Pada diagram batang dibawah ini dapat kita lihat, Pada tahap I persiapan secara keseluruhan baik, dengan skor rata-rata  4 . In the bar chart below we can see, the first stage of preparation as a whole good, with an average score of 4. Pada tahap II, yang terdiri dari tiga kegiatan yaitu pendahuluan, kegiatan inti dan penutup 3,7 . In phase II, which consists of three activities, namely introduction, core activities and the cover 3.7. Untuk pengelolaan waktu menunjukka skor  3,2, yang berarti cukup baik. For time management menunjukka score 3.2, which means pretty good. Suasana kelas tergolong baik dengan skor 3,6. The class is fair with a score of 3.6.
Pada diagram ini juga dapat kita lihat bahwa,  pembelajaran dengan menggunakan strategi TPS, pada tahap I persiapan secara keseluruhan baik dengan skor rata-rata  3,9 .        In this diagram we can see that, learning by using strategies of TPS, in phase I preparation with a good overall average score of 3.9. Pada tahap II, yang terdiri dari tiga kegiatan yaitu pendahuluan, kegiatan inti dan penutup menunjukkan skor rata-rata hasil pengamatn 3,7 . In phase II, which consists of three activities, namely introduction, core activities and the cover showed an average score of 3.7 observation results. Untuk pengelolaan waktu menunjukkan skor 3,7 , yang berarti baik. To demonstrate time management score 3.7, which means good. Suasana kelas tergolong baik dengan skor rata-rata yaitu 3,56. The class is fair with an average score of 3.56.

  figure 2
In figure 2 above shows, at this stage of preparation, implementation and atmosphere of the class showed that there was no notable difference between the STAD and TPS strategy. Ketiga tahap tersebut menunjukkan skor ditas 3,5 yang berarti baik. The third phase shows a mean score of 3.5 ditas good. Ini menunjukkan bahwa persiapan guru sebelum melakukan pembelajaran sudah baik. This suggests that teacher preparation prior to learning is good. Hal ini mengandung makna bahwa persiapan guru sudah baik, guru juga telah dapat menyelenggarakan pembelajaran kooperatif, mengorganisasikan siswa, membimbing dan mendorong siswa melakukan kegiatan kooperatif, memberikan resitasi/evaluasi dan menyimpulkan hasil pembelajarThis implies that teacher preparation is good, teachers also have to organize cooperative learning, students organize, guide and encourage students to do cooperative activities, provide recitation / evaluation and concluded that learning outcomes.
Selanjutnya pengelolaan waktu untuk strategi STAD, skor rata-rata hasil pengamatan kurang dari 3,5 yang berarti cukup Next time management for STAD strategy, the average score of less than 3.5 observations which means pretty good. Sedangkan pada strategi TPS untuk pengelolaan waktu sudah baik. While the TPS strategies for time management has been good.
Secara umum skor rata-rata pengamatan kemampuan guru mengelola pembelajaran kooperatif dengan menggunakan strategi STAD dan TPS adalah 3,7.        In general, the average score of teachers' observation skills to manage cooperative learning using STAD strategy and polling stations was 3.7. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan pembelajaran kooperatif dengan menggunakan strategi STAD dan TPS berlangsung dengan baik. This shows that the management of cooperative learning using STAD strategy and TPS is going well.

3. 3. Hasil Pengamatan Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran Observation Results Students in Learning Activities

 
Hasil analisis aktivitas siswa yang diajar dengan menggunakan strategi STAD dan TPS secara ringkas dapat dilihat pada diagram batang berikut ini.        Results of analysis of student activity and are taught by using STAD strategy and TPS can be seen briefly in the following bar chart. Berdasarkan hasil pengamatan nampak bahwa aktivitas yang dominan dilakukan siswa pada strategi STAD adalah mengerjakan tugas / LKS secara bersama hal ini ditunjukkan dengan pesentase 19,6% .  Pada kelompok yang menggunakan strategi TPS juga menunjukkan bahwa aktivitas siswa mengerjakan LKS secara bersama lebih dominan daripada mengerjakan tugas secara mandiri. Hal ini ditunjukkan dengan persentase aktivitas siswa 14,2 % Based on observations it appears that the dominant activity of the students in the STAD strategy is to do tasks / worksheets together as shown by the pesentase 19.6%. In the group using the TPS strategy also indicates that the student activity worksheets work together more dominant than the task independently. This is indicated by the percentage of student activities 14.2%.
figure 3  
Pada diagram batang di atas baik pada uji coba 1 maupun 2, dapat kita lihat aspek-aspek yang perbedaannya cukup menonjol, yaitu aspek 3 (mengerjakan LKS secara berkelompok/berpasangan) dan aspek 4 (Berlatih melakukan keterampilan kooperatif.
In the bar chart above in both trials 1 and 2, we can see aspects of the difference is quite prominent, namely aspect 3 (LKS working in groups / pairs) and the aspect 4 (Practicing perform cooperative skills).
CONCLUSION
       Based on the findings above  can be concluded that, type STAD cooperative learning and TPS both effective in complete senior high school student learning outcomes on the subject matter of Biology Reproductive system.



References  


Bahri, S.Dj. 2000 Guru dan Anak didik dalam interaksi Edukatif. Jakarta : Rinekacipta.
Borich, Gary Db. 1994. Observation Skill for Effective Teaching. New York : Macmillan Publishing 
                 Company.
Departmen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum 2004 SMA, Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian. Jakarta : Depdiknas
Depdikbud. 1994. Kurikulum Sekolah Menengah Umum; Petunjuk Pelaksanaan PBM. Jakarta: Depdikbud.
Gronlund, Norman E. 1985. Constructing Achievement Test. Fift Edition. New York: Prentice Hall, Inc.
Harjono, A.2005. “Aplikasi strategi advance organizer pembelajaran fisika model pembelajaran kooperatif  (Think-Pair-Share)”. Tesis Magister Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya.
Ibrahim, M. 2003a. Teori Belajar Konstruktivisme. Jakarta : Depdiknas.
Ibrahim, M. 2003b. Pengembangan Perangkat Pembelajaran . Jakarta :   Depdiknas
Ibrahim M., Rachmadiarti F.,Nur M. Dan Ismono. 2005. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya : Pusat Sains dan Matematika Sekolah, UNESA.
Kowit Joan Weal, Ewen. B Robert, Cohen Yacob. 1982. Introductory Statistic for Behavioral Sciense ; 3rd edition. New York : Academic Press.
Muchlis, 2001. “Uji coba perangkat pembelajaran kooperatif tipe STAD untuk meningkatkan hasil belajar kimia SMU pokok bahasan gugus fungsi senyawa karbon serta alkohol dan eter”. Tesis Magister Pendidikan Universitas Negeri Surabaya.
Myers, I.B., and Mc Caulley, M.H. 1985. Manual: A Guide to the Development and Use of the Myers-Briggs Type Indicator. Palo Alto, CA: Consulting Psyhologists
Nur, M., dan Wikandri R 2000. Pengajaran berpusat kepada siswa dan pendekatan konstruktivis dalam pengajaran, edisi ke empat. Universitas Negeri surabaya.
Nur, M., dan Budayasa K. 1998. Teori Pembelajaran Sosial dan Teori Pembelajaran Perilaku. Surabaya : Pusat Sains dan Matematika Sekolah.
Rumallang, Roni., 2003. “Pembelajaran fisika SLTP bahan kajian pengukuran dengan kombinasi  model pengajaran langsung dan strategi Think-Pair Share”.Tesis Magister Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya.
Sastrawijaya, A.T.2000. Pengembangan Program Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta
Santoso, S. 2008. Panduan Lengkap Menguasai SPSS 16. Jakarta : PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Slavin, R.E. 1997 Educational psychology Theory and practice. Fourth Edition. Boston : Allyn and Bacon Publisher
Slavin, R.E. 1995 Cooperative Learning. Second Edition. Boston, Allyn and Bacon Publisher
Zulfatni, M.2004. “Pengembangan Perangkat Pembelajaran Metode Diskusi Strategi Think-Pair-Share Bahan Kajian Hormon Manusia Diimplementasikan pada SMP”. Tesis Magister Pendidikan, Unversitas Negeri Surabaya.



























Studi Perbandingan Implementasi Model Pembelajaran Kooperatif 










http://www.google.com/images/infowindow/iws_n.pnghttp://www.google.com/images/infowindow/iws_n.pnghttp://www.google.com/images/infowindow/iws_w.pnghttp://www.google.com/images/infowindow/iws_e.pnghttp://www.google.com/images/infowindow/iws_s.pnghttp://www.google.com/images/infowindow/iws_s.pnghttp://www.google.com/images/infowindow/iws_c.png
http://www.google.com/images/infowindow/iw_n.pnghttp://www.google.com/images/infowindow/iw_n.pnghttp://www.google.com/images/infowindow/iw_w.pnghttp://www.google.com/images/infowindow/iw_e.pnghttp://www.google.com/images/infowindow/iw_s0.pnghttp://www.google.com/images/infowindow/iw_s0.pnghttp://www.google.com/images/infowindow/iw_c.png
http://www.google.com/images/logo_smallest.png
Teks asli Bahasa Indonesia
Design penelitian menggunakan Randomized-Control-Group - Pretest-posttest Design , dengan subjek penelitian siswa SMU Negeri 1 Arosbaya dan siswa SMU Negeri 1 Tanjung Bumi.
http://www.google.com/images/zippy_plus_sm.gifSarankan terjemahan yang lebih baik